Hari minggu. Hari yang paling ngga tega untuk kerja demi mencari sesuap harta. Hik-hik, tapi bagi para penguji ujian musik, biasa-na hari minggu dalam bulan tertentu menjadi ajang tambahan satu hari kerja. Komentar? Ada yang seneng, lha dapet gaji tambahan, tapi ya ada yang males, lha wong minggu-minggu kudu-ne mlungker ning kasur malah kudu mriksani salahe wong siji-siji (minggu-minggu harus-na tidur di kasur malah harus memeriksa kesalahan orang satu per satu).
Lha kondisi ini diperhitungkan ngga sih sama penguji? Ya itu, walo saja udah nguji murid, saya juga masih tetep ikut ujian musik untuk naik tingkat. Yah, istilah keren-na, masih ada langit di atas langit. Heh? Nyambung ngga tho? Balik lagi, ya itu... Murid grogi, tegang, stress itu hampir selalu ada. Kondisi ini harus-na disadarin sama penguji. Tapi sebagai penguji, kira-kira bisa berbuat apa?
Sodara-sodara, penguji itu cuman menjalan-kan tugas. Yang baik pass, yang engga ya fail. Inti-na cuma itu. Jadi semua tergantung kita? Ya iya. Penguji juga punya sisi manusiawi kuq, tapi memang biasa-na semakin tinggi grade/tingkat kita, ya mereka semakin ketat. Ukhhh... Kalo saya sebagai sisi penguji sih enak-enak aja untuk mengiyakan statement di atas. Tapi saya sebagai murid? Well, mungkin ini mewaliki aspirasi murid, "beri kami kelonggaran penilaian!!!"
Ya, saat ini saya ngga punya solusi untuk mengatasi tragedi antara murid ujian dan guru penguji. Berdoa, dan latihan itu harus. Terus, yang paling penting kalo ngga yakin bisa, lebih baik mundur ujian dulu dan mempersiapkan bahan dengan baik, daripada kita buang-buang duit pendaftaran ujian. Soal-na untuk ujian lokal di kisaran Semarang thu minimal sudah sekitar 150ribuan, tapi ya tergantung grade/tingkat juga, sementara ujian nasional kisaran sudah di atas 350ribuan, dan yang internasional? Silahkan berfantasi.
Jadi saya berangkat-lah kerja, di hari minggu yang puanaaas disela-sela rasa pusing-mual karena memang lagi sakit. Hari ini saya jadi guru pendamping ujian untuk murid piano dan keyboard di sekolah musik tempat saya kerja. Well, di tengah ke-eneg-an, rasa mau muntah, dan pusing, saya keinget postingan saya tentang ujian musik. Kejadian-kejadian seperti lembaran partitur yang kena AC, rasa grogi, de-el-el memang selalu ada. Yah, memang walo udah dikasi tips seperti apa juga, nama-na juga manusia. Rasa ini itu saat menghadapi sesuatu yang berbeda pastilah ada.
Lha kondisi ini diperhitungkan ngga sih sama penguji? Ya itu, walo saja udah nguji murid, saya juga masih tetep ikut ujian musik untuk naik tingkat. Yah, istilah keren-na, masih ada langit di atas langit. Heh? Nyambung ngga tho? Balik lagi, ya itu... Murid grogi, tegang, stress itu hampir selalu ada. Kondisi ini harus-na disadarin sama penguji. Tapi sebagai penguji, kira-kira bisa berbuat apa?
- Mau berbuat baik? Meluluskan? Padahal murid-na jelas-jelas mbaca not balok do-re-mi aja ngga bisa???? (Lebay sii kalo ini). Ya, inti-na, sebagai penguji yang tau bener dan salah, kalo ada murid yang salah fatal, masa sih mau dilulusin?
- Mau berlaku ketat? Kejam? Padahal ada murid yang masi kecil, keringetan, muka-na pucet udah mau nangis, trus dia main dengan tangan gemetaran. Sebener-na dia bisa, tapi karena gemeteran gitu yang maen-na salah semua. Tega kalo ngga dilulusin? Ntar di bilang ngga manusiawi.

Ya, saat ini saya ngga punya solusi untuk mengatasi tragedi antara murid ujian dan guru penguji. Berdoa, dan latihan itu harus. Terus, yang paling penting kalo ngga yakin bisa, lebih baik mundur ujian dulu dan mempersiapkan bahan dengan baik, daripada kita buang-buang duit pendaftaran ujian. Soal-na untuk ujian lokal di kisaran Semarang thu minimal sudah sekitar 150ribuan, tapi ya tergantung grade/tingkat juga, sementara ujian nasional kisaran sudah di atas 350ribuan, dan yang internasional? Silahkan berfantasi.